Sebagai
negara yang belum lama berdiri, timor leste sedang giat-giatnya merancang
strategis pembangunan yang tepat dengan potensi yang ada, koperasi bisa masuk
dalam strategis tersebut, Timor Leste masih terus berbenah. Dalam usianya yang
masih sangat belia, negeri ini masih harus berkutat untuk menentukan arah
kebijakan pembangunan yang ketat. Tentu saja ini bukan perkara mudah, terlebih
disana sini kadang masih ada letupan konflik yang berpotensi menggsnggu
stabilitas. Pendapatan perkapitanya tercatat 400 Dolar AS.
Pertumbuhan koperasi di Timor Leste mengadopsi model koperasi
wanita Setia Budi Wanita (SBW) Jawa Timur, terutama dalam hal manajemen
tanggung renteng. Koperasi di Timor Leste merupakan salah satu pilar ekonomi
Negara selain sektor publik & swasta. Jumlah koperasi di Timor Leste
sebanyak 84 unit. Kegiatannya berimbang antara koperasi simpan pinjam dan
koperasi serba usaha. Sampai tahun 2017, pemerintah menargetkan koperasi tumbuh
menjadi 300 koperasi.
Petani di Timor Leste berencana mendirikan koperasi pertanian yang
pertama di negara itu pada April 2011. Augusto Pires, Direktur LSM Cailalo
Timor Leste mengatakan selama ini di negaranya belum ada koperasi yang mewadahi
para petani sehingga taraf perekonomian rata-rata petani masih rendah.
“Potensi
pertanian di negara kami sangat besar, namun belum bisa dieksplorasi oleh
petani sehingga kami membutuhkan adanya koperasi, layaknya di Indonesia,”
ujarnya kepada bisnisjabar.com hari ini di sela-sela pelatihan petani Timor
Leste di Ikopin.
Dia meyakini
koperasi akan mampu meningkatkan taraf perekonomian petani, termasuk memperluas
pasar komoditas pertanian yang selama ini hanya dipasarkan di lokal saja. Dia
menyebutkan, komoditas utama Timor Leste adalah padi, umbi-umbian, dan sayuran.
“Mereka belum
bisa menggarap lahannya secara maksimal, padahal mereka ini berstatus sebagai
pemilik lahan, bukan petani penggarap,” ujarnya.
Augusto
menjelaskan, secara keseluruhan Timor Leste memiliki potensi dalam perikanan
dan pertanian. Namun sayangnya, potensi tersebut tidak terkelola secara
optimal.
Bahkan,
kehadiran koperasi pun masih sangat terbatas. Di negaranya itu saat ini baru ada
sekitar 4–5 koperasi.
“Koperasi
akan mendorong petani mengubah hidup mereka, karena ke depan perekonomian
negara kami akan digerakkan oleh sektor pertanian, dan satu-satunya cara
melalui koperasi,” jelasnya.
Sebelum
menjalin kerja sama pelatihan dengan Ikopin, lanjutnya, lembaganya sudah satu
tahun membina petani di Timor Leste, namun tidak menampakkan hasil.
“Ikopin akan
menjadi partner tetap kami dalam perkoperasian, dan tahun depan kami akan
mengirimkan anak-anak petani untuk belajar di sini,” katanya.
Maria
Apolonia Bupu, Project Technician PAZ Desarrollo (LSM internasional yang
membantu LSM Cailalo) mengatakan sudah bekerja sama dengan LSM lokal Timor
Leste sejak 2006 lalu, khususnya membidik pertanian dan perikanan.
&# ffb
8220;Untuk proyek pertanian kami mulai pada 2009, dalam pembangunan irigasi di
dua desa dan pelatihan koperasi,” katanya.
Dia
menyebutkan lembaganya menyediakan dana sebesar 447 euro untuk membiayai
pelatihan perkoperasian kepada petani Timor Leste ini.(hh)
Dipimpin langsung oleh Sekjen Kementrian
Ekonomi dan Pembangunan Marito Maqno ternyata Timor leste tidak hanya belajar.
Negara yang baru merdeka tahun 2007 ini bahkan meminta didatangkan langsung
ahli koperasi wanita dari Kota Malang untuk langsung mengajari ke Timor Leste. Marito
mengungkapkan dia mengajak para pejabat Timor Leste belajar koperasi ke Kota
Malang karena koperasi di Kota Malang sangat maju. Ia ingin ke depan koperasi
di Timor Leste bisa maju seperti di Kota Malang.
“Koperasi yang berbasiskan ekonomi rakyat
merupakan pilar utama fokus pembangunan yang kami lakukan saat ini. Karena itu
kami sangat serius belajar ke Kota Malang terkait Koperasi,” kata Marito, Rabu
(3/8).
Menurut Marito, berbeda dengan di Kota Malang
koperasi yang selalu berasal dari rakyat, koperasi yang ada di Timor Leste saat
ini rata-rata berasal dari pengusaha, sehingga filosofinya kurang pas. Dengan
diajari tenaga ahli dari Kota Malang, Marito berharap rakyat Timor Leste bisa
tahu benar bagaimana koperasi yang berbasis ekonomi rakyat.
“Saat ini ada 84 koperasi di Timor Leste, saya
berharap dengan pendidikan yang benar tahun 2017 nanti paling lambat Timor
Leste punya 300 koperasi yang eksis,” kata Marito.
Ketua Koperasi SBW, Sri Untari mengaku tidak
kaget dengan kedatagan pihak asing termasuk timor Leste ke Kota Malang untuk
belajar. Sebab sebelumnya koperasi SBW juga mendapat kunjungan dari Hungaria
dan Inggris melihat bagaimana koperasi ini bisa terus berkembang.
“Ilmu jika tidak diamalkan ibarat pohon yang
tidak berbuah. Karena itu kami senang hati sekali bisa berbagi ilmu dengan
teman-teman dari Timor Leste,” kata Sri untari.
Menurut Sri, dengan sudah memiliki
laboratorium koperasi yang sudah teruji di Indonesia. Sri mengaku siap berbagi
ilmu dengan masyarakat Timor leste. Selain menyiapkan enam tutor andal untuk
mendidik masyarakat Timor Leste terkait koperasi, pihaknya juga akan memberi
kesempatan pemerintah Timor Leste jika ingin mengirim warganya untuk magang di
Koperasi SBW. (cah)
Tapi seperti dijelaskan sebelumnya, koperasi sebagai pemain mikro tidak
bisa dengan sendirinya mendukung kekuatan mereka sebagai agen perubahan dalam
program penanggulangan kemiskinan kecuali mereka bekerja bergandengan tangan
dengan mitra berkembang seperti serikat buruh, LSM, bilateral dan badan-badan
PBB yang beragam. Ambil kasus di Timor Timur. Yayasan Malu Hanai adalah lembaga
sekunder untuk gerakan koperasi kredit di Timor Timur, yang didirikan oleh cara
partisipasi rakyat melalui kredit utama koperasi in1994 dan kemudian dimasukkan
pada tanggal 24 April 1996 di bawah hukum Indonesia Koperasi, maka disebut
sebagai Malu Pusat Koperasi Kredit Hanai (Puskopdit Hanai Malu).
Itu karena, diakui secara hukum. program yang lebih fokus untuk
seluruh masyarakat di seluruh Timor Timur. Pada bulan Agustus 1999, tepat
sebelum kehancuran, Hanai berhasil mendirikan 27 koperasi primer, yang
meliputi 12 kabupaten di Timor Timur, dengan keanggotaan 5917 dan tabungan
anggota ini / deposito telah mencapai Rp.1.7 Milyar, dan total aset sebesar Rp
.2.25 Miliar. Selain itu, 15 primer koperasi menjadi bagian dari Program Mutual
Benefit dan 20 pemilihan pendahuluan sebagai anggota Dana Likuiditas Sentral
Federasi Koperasi Kredit nasional Indonesia (CUCO Indonesia).
Setelah kemerdekaan mereka pada tahun 1999 jumlah orang miskin di Timor
Leste meningkat, sedangkan link apapun sebelumnya dengan CUCO Indonesia terputus.
Masuknya LSM, lembaga bilateral dan multilateral menawarkan untuk membantu
masyarakat miskin di Timor Leste tidak sedikit untuk menanggapi keberhasilan
masa lalu Malu Hanai, tetapi menawarkan program pembangunan yang berbeda untuk
membantu penderitaan mereka melalui keuangan mikro dan skema kesejahteraan
lainnya. Alih-alih merehabilitasi sukses masa lalu, agenda segar tapi
bertentangan dari lembaga pembangunan telah berbuat banyak untuk menghidupkan
kembali komunitas miskin tapi hidup yang sudah percaya pada self-help dan
perusahaan tabungan berbasis.
Studi kasus ini mengecewakan, karena tanpa harus menemukan kembali roda ICA
dan ILO bisa menangkap kesempatan untuk bekerja sama dengan mitra pembangunan
lain dan pemerintah daerah untuk membangun kembali masyarakat lokal miskin di
Timor Leste melalui model terbukti SHG, organisasi buruh dan Koperasi .
Kolaborasi di tingkat akar rumput adalah sama pentingnya dengan kerjasama
antara badan-badan pembangunan internasional menangani isu-isu makro. Mengurangi
kemiskinan memerlukan penciptaan pertumbuhan dan dinamika di tingkat masyarakat
miskin itu sendiri, di mana mereka dapat mengambil inisiatif mereka sendiri dan
memperbaiki situasi mereka sendiri. Pengentasan kemiskinan bukan hanya
mendukung satu arah dari pertumbuhan ekonomi kepada orang-orang yang kurang
beruntung, tetapi juga merupakan faktor penting yang meletakkan sebuah lapangan
bermain yang relatif tingkat untuk pembangunan, menyediakan tenaga kerja
tambahan yang melimpah, dan memastikan stabilitas di "take-off"
periode.
ICA ROAP dan ILO merupakan mitra alami untuk meyakinkan pemerintah dan
lembaga-lembaga multilateral lainnya tentang keharusan dari pendekatan bottom
up. Tapi pemerintah harus menciptakan lingkungan kebijakan yang kondusif bagi
koperasi untuk dapat melakukannya. Dalam beberapa kasus, seperti di Indonesia,
benchmark tambahan harus dibuat untuk memastikan kepatuhan hukum dan penegakan
untuk co-op pejabat dan pemimpin. Organisasi seperti ICA dan ILO bisa menjadi
agen perubahan untuk memastikan bahwa dukungan eksternal adalah pelengkap saja
dan bahwa dana benar-benar mencapai miskin penerima manfaat.
Sumber: